REMAJA DAN SPIRITUAL
Karya: Mirzak Mubarrok
Harus diakui, dahsyatnya serangan budaya Barat, mampu menjauhkan para pemuda daei masjid dan majlis pengajian. Dampaknya, negeri muslm banyak dibanjiri genre pemuda yang kehilangan jati dirinya. Kerusakan bukan hanya pada pemikiran, tapi juga perilaku. Maka muncullah ritual semacam dugem, parti, week-end, dan sejenisnya. Tidak hanya itu, praktik kekerasan, kriminilitas, juga merajalela. Fenomena itu, melahirkan banyak problem sosial yang kadang membuat resah masyarakat. Terbitlah banyak sebutan semisal: pemuda nakal, pemuda koplo, bahkan sampah masyarakat. Sebuah pengelompokan yang logis, tapi seringkali berujung pada praktik stigmatisasi.
Alangkah indahnya bilamana di masa remaja kita mampu menjadi diri kita sendiri. Menjadi remaja yang sesuai dengan konteks agama, di mana kita akan mendapatkan sebuah kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ibarat kita hidup di dunia tanpa iman, kita bagaikan binatang yang melata di muka bumi ini, namun alangkah indahnya bilamana kita mampu menjadi remaja sesuai dengan konteks agama yang tidak mudah terpengaruh oleh serangan budaya Barat.
Saat membicarakan masalah remaja, seringkali kita dihadapkan kepada sebuah pemandangan ironis. Sebuah generasi yang menjadi tumpukan masa depan kehidupan manusia, mestinya tampil menjadi pengusung harapan menggembirakan. Tetapi, bagaimana kenyataannya? Hari ini, mayoritas generasi muda terperosok dalam lumpur budaya yang menyesatkan. Terlena dengan berbagai tradisi yang jauh, bahkan bertentangan dengan ajaran Agama.
Hura-hura, pergaulan bebas antar lawan jenis, hingga meremehkan bahkan melupakan kewajiban-kewajiban agama, menjadi warna yang melekat pada potert jati diri remaja sekarang. Memang, melihat kondisi yang sedemikian parah, masih tersisa sejumlah remaja yang teguh memegang prinsip keislaman, sehingga setidaknya mampu menjaga diri dari pengaruh budaya tercela di atas. Tetapi jumlah mereka terlalu sedikit bila dibandingkan dengan kelompok pertama di atas.
Masa-masa terindah dalam kehidupan kita adalah saat-saat kita remaja, di mana kita sedang mengalami masa puber. Remaja sendiri sering sibuk dengan dirinya, yang tidak mudah dimengerti dan diterima oleh orang tuanya. Hubungan dengan teman- temannya tidak menentu, ada kalanya akrab dan ada kalanya bermusuhan. Mungkin pada suatu ketika dia cinta dan bangga terhadap dirinya, lain waktu dia merasa malu dan benci terhadap dirinya.
Dalam masa ini mereka sedang mencari jati dirinya. Siapa aku sebenarnya? Aku ini bagaimana? Apa ini? Apa itu? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dalam benaknya. Dalam masa remaja, kita sering mencoba akan hal-hal yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Kita selalu ingin mencoba hal-hal yang baru.
Di kota-kota bahkan sudah lambat laun masuk ke desa-desa, spiritual sudah enggan lagi merekat pada diri remaja. Mereka lebih mengikuti kebudayaan ala barat dari rasa spritualnya. Sebelum kita membahas lebih dalam, perlu kita ketahui apa itu arti dari remaja dan spiritualitas.
PENGERTIAN REMAJA
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.
Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai (Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak (Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001).
Dalam hal ini remaja mengalami banyak perkembangan dan perubahan antara lain perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan ini meliputi perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan perkembangan kepribadian dan sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik yang cepat. Pertumbuhan yang cepat pada tubuh remaja, luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit terhadap sikap, perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, di mana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan
Dalam masyarakat, dikenal remaja dengan berbagai istilah yang menunjukkan kelompok umur yang tidak termasuk kanak- kanak tetapi juga bukan pula dewasa, misalnya jaka bagi laki-laki dan perawan bagi gadis. Sebutan itu diperuntukkan bagi usia sekitar 13 tahun sampai 17 tahun.
Istilah remaja dalam Islam tidak ada. Namun didalam Al Qur’an ada kata alfityatun, fityatun yang artinya orang muda (Q.S. Al-Kahfi). Ada pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak lagi kanak- kanak atau juga bisa berarti penentuan umur awal kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam kehidupan sehari- hari.
PENGERTIAN SPIRITUAL
Secara etimologi spiritual berasal dari kata “sprit” berasal dari kata Latin “spiritus”, yang diantaranya berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan, nafas hidup, nyawa hidup. Dalam perkembangannya, selanjutnya kata spirit diartikan secara lebih luas lagi. Para filosuf, mengkonotasikan “spirit” dengan:
(1) Kekuatan yang menganimasi dan memberi energi pada cosmos,
(2) Kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi,
(3) Makhluk immaterial,
Wujud ideal akal pikiran (intelektualitas, rasionalitas, moralitas, kesucian atau ke-ilahian).
Dilihat dari bentuknya, spirit menurut Hegel, paling tidak ada tiga tipe: subyektif, obyektif dan obsolut.
Spirit subyektif berkaitan dengan kesadaran, pikiran, memori, dan kehendak individu sebagai akibat pengabstraksian diri dalam relasi sosialnya.
Spirit obyektif berkaitan dengan konsep fundamental kebenaran (right, recht), baik dalam pengertian legal maupun moral.
Sementara spirit obsolut yang dipandang Hegel sebagai tingkat tertinggi spirit-adalah sebagai bagian dari nilai seni, agama, dan filsafat.
Secara psikologik, spirit diartikan sebagai “soul” (ruh), suatu makhluk yang bersifat nir-bendawi (immaterial being). Spirit juga berarti makhluk adikodrati yang nir-bendawi. Karena itu dari perspektif psikologik, spiritualitas juga dikaitkan dengan berbagai realitas alam pikiran dan perasaan yang bersifat adikodrati, nir-bendawi, dan cenderung “timeless & spaceless”.
Termasuk jenis spiritualitas adalah Tuhan, jin, setan, hantu, roh-halus, nilai-moral, nilai-estetik dan sebagainya. Spiritualitas agama (religious spirituality, religious spiritualness) berkenaan dengan kualitas mental (kesadaran), perasaan, moralitas, dan nilai-nilai luhur lainnya yang bersumber dari ajaran agama. Spiritualitas agama bersifat Ilahiah, bukan bersifat humanistik lantaran berasal dari Tuhan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Spiritual adalah olahan jiwa yang menghubungkan kesadaran akan tanggung jawab diri yang menghubungkan antara diri dan sang pencipta. Di mana dari berbagai kepercayaan-kepercayaan yang ada mengajarkan manusia melalui ajaran-ajarannya. Ada yang melalui ritual-ritual maupun meditasi dan berbagai macam cara dan tata cara untuk mengolah jiwa hingga sampai pada kesadaran tertentu, sebagai hasil dari kerja keras individu. yang mana kesemuanya itu berfungsi untuk membawa manusia kembali kepada sang khalik sang penciptanya.
REMAJA DAN SPIRITUALITAS
Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini banyak remaja yang mulai dengan perlahan menanggalkan spiritualnya. Mereka lebih banyak menganut atau mengikuti perkembangan ala barat dengan tanpa memikirkan efek apa yang akan menimpah pada dirinya. Mereka lebih banyak yang berfikir instan, mereka tertipu oleh kenikmatan sesaat yang ditawarkan padanya.
Zaman semakin maju, seiring dengan berkembangnya teknologi dikalangan masyarakat. Hal ini membawa efek positif, namun juga membawa efek negatif terutama bagi kalangan remaja. Hal ini sangat berpengaruh dalam perkembangan masa remajanya, di mana pada saat ini remaja sedang rasa keingintahuan akan hal baru sangatlah tinggi.
Dalam masa ini, remaja dihadapkan banyak masalah penting yang harus dihadapi olehnya, diantaranya adalah dengan timbulnya berbagai konflik dalam diri remaja antara lain:
Konflik antara kebutuhan untuk mengendalikan diri dengan kebutuhan untuk bebas dan merdeka. Remaja membutuhkan penerimaan sosial dan penghargaan serta kepercayaan orang lain kepadanya. Di lain pihak dia membutuhkan rasa bebas, karena ia merasa telah besar, dewasa dan tidak kecil lagi. Konflik antar kebutuhan tersebut menyebabkan rusaknya keseimbangan emosi remaja.
Konflik antara kebutuhan akan kebebasan dan ketergantungan terhadap orang tua. Di lain pihak remaja ingin bebas dan mandiri, yang diperlukannya dalam mencapai kematangan fisik, tetapi membutuhkan orang tua untuk memberikan materi guna menunjang studi dan penyesuaian sosialnya. Konflik tersebut menimbulkan kegoncangan kejiwaan pada remaja sehingga mendorongnya mencari pengganti selain orang tuanya, biasanya teman, guru ataupun orang dewasa lainnya dari lingkungannya.
Konflik antara kebutuhan seks dan ketentuan agama serta nilai sosial. Kematangan seks yang terjadi pada remaja menyebabkan terjadinya kebutuhan seks yang mendesak tetapi ajaran agama dan nilai- nilai sosial menghalangi pemuasan kebutuhan tersebut. Konflik tersebut bertambah tajam apabila remaja dihadapkan pada cara ataupun perilaku yang menumbuhkan rangsangan seks seperti film, sandiwara dan gambar.
Konflik nilai-nilai, yaitu konflik antara prinsip- prinsip yang dipelajari oleh remaja dengan prinsip dan nilai yang dilakukan orang dewasa di lingkungannya dalam kehidupan sehari- hari.
Konflik menghadapi masa depan. Konflik ini disebabkan oleh kebutuhan untuk menentukan masa depan. Banyak remaja yang tidak tahu tentang hari depan dan tidak tahu gambarannya. Biasanya pilihan remaja didasarkan atas pilihan orang tua atau pekerjaan yang populer di masyarakat.
Dari pengamatan saya sendiri, banyak remaja lebih memilih waktunya untuk bersenang-senang di luar rumah. Hal itu mereka lakukan tidak lain adalah untuk mencari kebebasan di luar rumahnya. Mereka enggan untuk melakukan ajaran-ajaran yang telah ditetapkan oleh agama, mereka condong untuk lebih meniru apa yang dilakukan oleh teman-temannya, karena dengan begitu dia diakui sebagai anggota dari kelompoknya. Walaupun hal itu salah namun mereka menganggap semuanya itu benar.
Dari sini peran orang tua dan guru sangatlah penting dalam pembentukan jati dirinya, di samping itu lingkungan, dan teman pergaulannya juga sangatlah mendukung. Di mana pada usia remaja ini mereka sedang mencari jati dirinya. Mereka mengalami masa-masa goncang, dan mereka harus melewatinya agar remaja dapat melalui masa- masa sulit itu maka diperlukan interaksi yang baik antara remaja dengan orangtua, remaja dengan guru di sekolah, dengan teman sebaya dan dengan orang dewasa lainnya.
Guru menempati tempat teristimewa di dalam kehidupan remaja karena guru merupakan cerminan dari alam luar keluarganya. Mereka lebih suka terhadap guru- guru yang terbuka untuk mendengar dan memperhatikan keluhannya dan membantu mengatasi kesulitannya. Remaja kurang senang dengan guru yang tidak mau mendengar dan mengerti keluhannya, terutama guru yang selalu menganggap muridnya harus selalu patuh dan mengikuti apa yang dikehendakinya. Yang mereka inginkan hanyalah sebuah kebebasan.
Dulu, pacaran merupakan hal yang tabu. Jangankan pacaran, suka pada lawan jenis pun pada usia-usia itu merupakan hal yang memalukan. Orang tua sekarang harus bisa merubah paradigma itu. Mereka tidak bisa langsung melarang putra atau putrinya berpacaran. Sebaliknya, mereka harus empati pada apa yang dirasakan oleh anaknya. sekarang bukan zamannya lagi melarang anak berpacaran. Kalau pun si orang tua takut anaknya mengalami "sesuatu" karena itu, yang harus dilakukan adalah membentuk komunikasi dua arah. Bukan hanya melarang. Orang tua harus menjadikan dirinya sebagai tempat curhat anak-anaknya.
Padahal kata Pacar sendiri berasal dari nama sejenis tanaman hias yang cepat layu dan mudah disemaikan kembali. Tanaman ini tidak bernilai ekonomis (murahan) sehingga tidak diperjualbelikan. Hal ini sebagai simbol bahwa pacaran adalah perilaku yang tidak bernilai. Jika suatu waktu puas dengan pacarnya, maka dia akan mudah beralih kepada pacarnya yang baru. Pacaran sendiri dapat diartikan ajang saling mengenal agar mengetahui karakter masing-masing. Tetapi para remaja banyak yang menyala gunakan dan sudah melanggar makna pacaran sendiri sebagai ajang perkenalan. Dalam Islam ajang perkenalan disebut khitbah yaitu pihak laki-laki mengajukan lamaran terhadap pihak wanita.
Seperti yang kita lihat sendiri dalam kehidupan sehari-hari ini, mereka tidak lagi mengindahkan apa yang telah dilarang oleh agama. Bergandengan tangan, boncengan, bahkan mereka pun berani melakukan hal yang sangatlah tidak dianjurkan untuk dilakukan oleh mereka yang belum menikah.
Sikap orang tua yang hanya bisa melarang justru malah ditakutkan, kelakuan si anak di rumah dan di luar rumah jadi bertolak belakang. "Banyak ibu-ibu yang heran, 'Anak saya itu kalau di rumah manis sekali. Kok tiba-tiba bisa hamil yah?" (Indo Pos, 16 Maret 2003, hal.12) Hal itu terjadi karena orang tua tidak mau membuka keran komunikasi. Akhirnya, si ortu jadi tidak tahu, apa yang dilakukan si anak kalau tidak bersama dirinya. "Sebaiknya, ortu menjelaskan dengan hubungan sebab akibat. Kalau kamu terlalu dekat dengan lawan jenis, ini yang akan terjadi. Jangan lupa. Jelaskan semuanya secara rasional."
Banyak realita yang menunjukkan bahwa pada saat ini remaja yang dulunya sangat taat mengikuti ajaran agamanya, namun disaat mereka keluar dari lingkungannya itu, mereka banyak yang tidak bisa menerimanya. Mereka tidak malah mempengaruhi untuk mengajak pendekatan kepada sang khalik, malah mereka banyak yang terpengaruh dengan gaya hidup yang mewah, yang menawarkan kenikmatan sesaat itu.
Di sini saya mengambil sebuah fakta hal ini merupakan pengalaman dari perjalanan hidup temanku sendiri, di mana dia dulu yang namanya dekat sama seorang cewek sangatlah tabu, namun dia tak mampu menghadapi kemajuan zaman ini, dia lari ke dalam dekapan hangat bidadari langit dan tenggelam dalam lumuran dosa yang pada mulanya dia dipertemukan kembali dengan orang yang selama ini dia cintai.
Awalnya dia sangatlah risih dengan kehadiran seorang cewek di dekatnya, namun semuanya berubah begitu saja, semakin dekat hubungannya seolah-olah mereka seperti sama-sama sudah menjadi halal bagi mereka berdua. Mereka berdua pun menganggap semuanya itu sebagai hal yang wajar.
Gaya pacaran remaja sekarang sangatlah menyimpang dari norma-norma dan peraturan yang telah ditetapkan agamanya. Mereka bahkan melakukan hal yang lebih dari ciuman, seolah-olah mereka sudah menjadi seperti suami-istri setelah kata “jadian” itu diungkapkan. Padahal kata “Jadian” bukanlah kata yang menghalalkan sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Mereka lebih condong meniru gaya ala barat dalam menjalin hubungan cintanya, dan mereka menanggalkan nilai-nilai spiritualnya.
Bagi remaja ciuman tidaklah menjadi hal yang tabu, melainkan menjadi sebuah kewajiban dalam menjalin sebuah cinta. Padahal dalam Islam tidaklah diperbolehkan. Jangankan berciuman, melihat orang yang bukan muhrimnya saja diperintahkan untuk menundukkan kepalanya. Namun mereka tidaklah lagi mengindahkan nilai-nilai spiritualnya. Mereka lebih memilih kenikmatan sesaat itu dari pada mendengar nasehat sekelilingnya.
Belum tentu jaminan remaja yang berasal dari lingkungan pesantren merupakan remaja yang baik-baik. Benar di lingkungan pesantren mereka begitu menurut apa yang dikatakan Ustadznya, namun setelah mereka keluar dari lingkungan pesantrennya bilamana mereka tidak kuat menghadapi konflik ini maka mereka pun akan tenggelam di dalamnya. Semuanya itu melihat bagaimana diri remaja itu menghadapi konflik-konflik yang ada, bahkan bisa jadi mereka lebih parah.
Begitu banyak konflik yang terjadi dalam masa transisi ini, di daerah lingkungan tempat tinggal saya banyak remaja yang suka menghabiskan waktunya untuk nongkrong di warung kopi. Di daerah saya sangatlah banyak tempat itu, di mana di sana mereka mendapat jamuan yang lengkap mulai dari judi, taruhan, pesta miras, ajang transaksi narkoba, bahkan banyak para pemilik warung yang banyak memperkerjakan perempuan untuk menarik kepada para konsumen.
Bukan hanya itu, banyak juga remaja yang menjual dirinya hanya untuk mendapatkan kesenangan berupa materi. Dalam koran yang pernah saya baca “7 siswa SMA menjual dirinya hanya untuk mendapatkan hand phone (HP) mengingat teman-temannya sudah mempunyai HP yang sangat canggih.” Sehingga mereka berani menjual dirinya hanya untuk mendapatkan kepuasan materi itu. Akankah kebahagiaan itu bisa dibeli dengan materi?
Mereka sudah diracuni dengan pengaruh-pengaruh dari Barat yang hanya menawarkan kenikmatan sesaat, pada dasarnya remaja itu baik, akan tetapi mereka menghadapi banyak masalah, yang kadang mereka tidak sanggup untuk mengatasinya sehingga terjadi penyimpangan perilaku yang disebut kenakalan. Dalam penanggulangan kenakalan remaja, kita perlu menggunakan pendekatan psikologis. Mulai dari pemahaman tentang kenakalan remaja dan mencari latar belakang terjadinya, agar kita tidak melihat tindakan tanpa mengetahui berbagai faktor penyebabnya baik yang timbul akibat perubahan yang terjadi pada diri remaja maupun yang datang dari luar.
Oleh karena itu dalam penanggulangan kenakalan remaja bukan dengan hukuman atau ancaman tetapi dengan membantunya untuk mencari penyelesaian masalah dengan cara yang baik dan tidak bertentangan dengan hukum dan ajaran agama.
Keluarga mempunyai peranan penting dalam menciptakan ketentraman batin remaja. Dalam menghadapi kenakalan remaja, orang tua yang bijaksana dapat memahami keadaan remaja dan membantunya mengatasi persoalan yang dihadapinya. Guru di sekolah juga mempunyai peranan penting dalam membantu remaja dalam mengatasi kesulitannya. Keterbukaan hati guru menerima keadaannya menjadikan remaja sadar akan sikap dan tingkah lakunya yang kurang baik.
Pendidikan agama yang diperoleh remaja dapat membantunya mengatasi berbagai masalah dan gejolak kejiwaan pada dirinya, maka sebaiknya semua mata pelajaran dapat menghubungkan bidang yang diajarkannya dengan ajaran agama. Sehingga mampu menanamkan kembali rasa spiritual pada diri remaja.
Begitu melesat jauh perkembangan pengaruh budaya Barat, namun di sini tergantung dari setiap individu menyikapinya dan kemampuan untuk tidak dapat terpengaruh dalam kenikmatan itu. Dalam Al-Qur’an juga banyak disebutkan di dalamnya tentang pergaulan seorang anak yang sedang menuju masa transisi itu, pergaulan yang dianjurkan oleh agama sebagai pegangan hidup ini. Begitu lengkap pengajaran spiritual yang diajarkan oleh Agama untuk mengatur kedekatan kita dengan sang khalik. Dari kesemuanya itu dijadikan menjadi satu paket dalam Al-Qur’an.
Alangkah indahnya hidup ini bilamana hidup kita dihiasi dengan iman yang kuat, pergaulan yang sesuai dengan syariat agama. Mungkin banyak penyesalan yang akan datang, banyak mereka yang beranggapan “Andai saja hidupku bisa aku ulang lagi?” Waktu di dunia ini tak dapat diulang kembali, semuanya sudah menjadi sunnahtullah yang harus kita jalani. Tak jarang dari remaja yang memvonis diri mereka sendiri, mereka menganggap tak memiliki fitrah, tak beragama, dan sama sekali tak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.
Pintu taubat masihlah terbuka bagi semuanya, tinggal hanya kita sejauh mana kita mampu menyesali semua kesalahan yang telah kita perbuat. Kehidupan di dunia ini hanyalah sebuah permainan, kehidupan di akhiratlah kehidupan yang sebenarnya. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an QS. Al-Hadid:20 yang berbunyi:
Artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-bangga akan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan di dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. 57:20).
Semua kenikmatan di muka bumi ini hanyalah kenikmatan yang menipu. Semuanya hanya bersifat abstrak, jadilah kita sebagai pemuda yang mampu mengharumkan nama bangsa, membanggakan orang tua, dengan memiliki cita-cita yang tinggi mampu membentengi diri kita dari pengaruh-pengaruh itu.
Dan hendaknya kita menjadi pemuda seperti “Ashkhabul Kahfi” yang mana pada masa mudah mereka tidak pernah menyia-nyiakan waktunya. Di masa mudah mereka dipergunakan untuk mengabdi kepada Tuhannya. Alangkah indahnya bila masa-masa mudah kita seperti mereka, kebahagiaanlah yang akan kita dapatkan.
BIOGRAFI PENULIS
Mirzak Mubarrok, saya lahir di daerah Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur, 08 Mei 1991, dari sebuah keluarga yang sederhana. Saya merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Saya tumbuh besar di desa Kemeraan, sejak kecil saya sudah terbiasa dengan kehidupan yang agamis.
Saya mulai menuntut ilmu dari TK hingga SMA saat ini, semuanya itu saya jalani di lingkungan yang Islami. Prestasiku di bidang akademik sangatlah minim. Karena aku lebih menyukai kegiatan yang bersifat non akademik. Di sini saya aktif dalam setiap kegiatan non akademik di lingkungan sekolah, dengan mengikuti banyak ekstrakurikuler.
Sejak SMP saya giat dalam kegiatan berorganisasi baik di desa maupun di sekolah. Saya lebih memilih untuk mengikuti banyak organisasi, karena saya beranggapan “Buat apa hidup? Jika kita tidak bermanfaat bagi orang lain”. Hidup di dunia ini hanyalah sekali.
Di mana bila kehidupan di dunia ini kita menanamkan hal yang baik, maka di akhirat kelak kita juga akan menerima hasilnya dengan baik pula. Setiap perbuatan yang berniatkan baik maka kebaikan juga baginya. Betapa indahnya bilamana hidup kita selalu dihiasi dengan perbuatan-perbuatan yang bernilai positif.
Melihat keadaan remaja saat ini, membuat saya untuk menulis esai dengan judul “Remaja dan Spiritual”. Karena saya merasa pendidikan spiritual bagi remaja sangatlah kurang, banyak remaja lebih memilih mengikuti gaya yang trend saat ini, sehingga mereka tidak lagi mengindahkan rasa spiritual itu.
Dengan hilangnya rasa spiritual itu dalam diri remaja maka hilanglah pula akhlak yang telah diajarkan dalam pendidikan agama. Tidak disalahkan juga bagi para orang tua, orang tua sudah memberikan pendidikan spiritual kepada anaknya namun anaknya lebih memilih untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Padahal dalam masa remaja ini sangatlah perlu bimbingan dan tuntunan untuk menentukan masa depannya.
Dan hendaknya kita sebagai remaja, dalam masa transisi ini kita mampu menyeleksi mana yang baik dan mana yang buruk. Prinsip hiduplah yang harus kita miliki sehingga kita mampu menjadi diri kita sendiri dengan tidak meniru orang lain.
